Sutomo (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920 – meninggal di Padang Arafah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981 pada umur 61 tahun)[1] lebih dikenal dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo, adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA, yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Masa muda
Sutomo
dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas
menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi
di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan
pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda. Ia mengaku mempunyai pertalian
darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran
Diponegoro yang
dikebumikan di Malang.
Ibunya
berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura. Ia pernah bekerja sebagai polisi
di kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan
menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer.
Sutomo
dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan
terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki
keadaan. Pada usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO, Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan
untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia
menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun
tidak pernah resmi lulus.
Sutomo
kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan Sutomo
menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang
diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik
untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika
berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu
Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang
Indonesia.
Pemimpin Perjuangan Pertempuran Surabaya 10 November 1945
Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang mengenal dia. Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat penting, ketika pada Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin yang menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang pada waktu itu Surabaya diserang habis-habisan oleh pasukan Inggris yang mendarat untuk melucutkan senjata tentara pendudukan Jepang dan membebaskan tawanan Eropa. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi.Meskipun Indonesia kalah dalam Pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia.
Setelah kemerdekaan
Setelah
kemerdekaan Indonesia, Sutomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun
1950-an, namun ia tidak merasa bahagia dan kemudian menghilang dari panggung
politik. Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto yang mula-mula didukungnya, Sutomo
kembali muncul sebagai tokoh nasional.
Padahal,
berbagai jabatan kenegaraan penting pernah disandang Bung Tomo. Ia pernah
menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus
Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin
Harahap. Bung Tomo
juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai
Rakyat Indonesia.
Namun pada
awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Ia berbicara dengan keras terhadap
program-program Suharto sehingga pada 11 April 1978 ia ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya
khawatir akan kritik-kritiknya yang keras. Baru setahun kemudian ia dilepaskan
oleh Suharto. Meskipun semangatnya tidak hancur di dalam penjara, Sutomo
tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal.
Ia masih
tetap berminat terhadap masalah-masalah politik, namun ia tidak pernah
mengangkat-angkat peranannya di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ia
sangat dekat dengan keluarga dan anak-anaknya, dan ia berusaha keras agar
kelima anaknya berhasil dalam pendidikannya.
Sutomo
sangat bersungguh-sungguh dalam kehidupan imannya, namun tidak menganggap
dirinya sebagai seorang Muslim saleh, ataupun calon pembaharu dalam agama. Pada
7 Oktober 1981 ia meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan ibadah
haji. Berbeda dengan tradisi untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal
dalam ziarah ke tanah suci, jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan
dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman
Umum Ngagel di Surabaya.
Gelar Pahlawan Nasional
Setelah
pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) agar
memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada 9 November 2007.[2] Akhirnya gelar pahlawan nasional
diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta
Kontroversi
Pada tahun
1950-an di Surabaya, Bung Tomo berusaha sebagai penolong tukang becak pertama
yakni dengan mendirikan pabrik sabun melalui uang iuran tukang becak untuk
pendirian pabrik sabun. Pabrik tersebut didirikan oleh dan untuk tukang becak
akan tetapi kelanjutan ide pendirian pabrik sabun tidak berhasil dan tanpa
adanya pertanggungan-jawaban keuangan.
Sumber : /id.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar